Friday, September 30, 2011

Mengapa Momen Peledakan Bom Di Indonesia Selalu Bersamaan Dengan Kasus Yang Menimpa SBY ?

 Ada yang menarik dari dialog - dialog yang disiarkan stasiun TV swasta Nasional TV ONE, TV yang banyak disebut di Kaskus sebagai TV dengan slogan "Terdepan Melebaykan".. terus ada juga juga yang bilang TV O'on..Yang membuat saya heran, bintang tamu yang diundang dalam dialog - dialog tersebuat adalah orang - orang penting, orang yang berkompeten di dalam biudangnya.. dan tidak sedikit dari mereka adalah Nara Sumber Utama  ...Menggelitik untuk disimak , apakah karena reporternya yang kurang wawasan atau kurang tahu membuat sebuah pertanyaan dan mengarahkan acara pada wawancara yang cerdas, ataukah ada hal lain dalam manajemennya  ? berikut adalah tulisan dari situs eramuslim.com yang berjudul Dalam Dua Hari, TvOne Melakukan Dua Ketidakadilan Dalam Pemberitaan Terorisme , yang menarik untuk disimak opininya


Hal yang penting dalam sisi jurnalisme adalah mengabarkan sebuah kebenaran. Jurnalisme harus menjadi garda terdepan untuk berpihak kepada fakta demi kepentingan bersama. Namun apa yang dilakukan pada TvOne jauh dari upaya itu.
Grace Natalie

Grace Natalie Yang Cenderung Menyudutkan

Dalam Acara Apa Kabar Malam Indonesia, rabu (28/9), terlihat pembawa acara Grace Natalie mencoba menutup-nutupi keterlibatan intelijen dalam kasus Solo. Saat Musthofa B. Nahrawardaya dari Indonesian Crime Analysis Forum (ICAF) mengatakan bahwa tiap kelompok muslim sudah dipepet intelijen dan menengarai kuatnya inflitrasi intel dalam kejadian Solo, wajah Grace berubah sinis. Ia seakan tidak ingin analisa Musthofa mencuat lebih jauh. Pembahasan intelijen sepertinya menjadi tabu untuk diungkapkan.
Entah kenapa, setelah Musthofa mengungkit hal tersebut, tidak berapa lama pihak TvOne langsung menayangkan iklan. Saya melihat ada upaya untuk menjauhkan masyarakat dari pikiran keterlibatan intelijen dalam kasus bom di Indonesia.

Sebenarnya ini bukan sekali saja terjadi. Kisah Grace yang kerap menyudutkan umat muslim setidaknya memiliki rekam jejak dalam pengembaraan jurnalismenya. Dalam tulisan, Antara Gaza, Grace, TV One dan Karni Ilyas di situs Muslimdaily dikisahkan bahwa Grace pernah melakukan penggiringan opini dalam berita kasus terorisme Palembang. Grace, yang "meninjau" lokasi pesantren yang dituduh menjadi sarang dan tempat latihan tersangka teroris Palembang, melengkapi laporannya dengan ilustrasi bahwa pesantren itu "aneh" karena hanya memiliki sepuluh santri.

Kalau saja Grace seorang Muslim, atau rajin mengamati pesantren-pesantren kecil di pedesaan, niscaya ia akan menemukan pesantren (rintisan tentu saja) yang hanya memiliki lima, empat, tiga atau bahkan satu santri saja. Keheranan seorang Grace yang bukan Muslim dan tidak memahami dunia pesantren memang wajar. Namun komentar bodohnya bahwa hal itu “aneh” memberi bobot bagi penggiringan opini bahwa pesantren adalah sarang teroris.

Sudah selesaikah disini? Ternyata belum. Kasus ketidakberpihakan TvOne untuk mengungkap fakta apa adanya pada rabu malam kemarin, kembali dilakukan dalam Acara Apa Kabar Indonesia Pagi, kamis pagi (29/9). Kali ini aktornya adalah pembawa acara kenamaan, Indy Rahmawati. “Luka” ini bermula ketika salah seorang perwakilan dari Gerakan Anti Maksiat, bertanya mengapa momentum peledakan bom di Indonesia yang selalu bersamaan dengan kasus yang menimpa SBY. Rasanya ketika pucuk pimpinan Negara ini diterpa masalah maka tiba-tiba muncullah teror bom yang melanda Indonesia. “Ini kok selalu berbarengan,” tanyanya melihat ada keganjilan dalam drama ini.
Indy Rahmawati
Sebagai seorang jurnalis, seharusnya Indy bisa mengulik lebih jauh pandangan seorang narasumber. Sebuah fakta yang penting bagi kepentingan umat harus dikedepankan ketimbang ego dirinya. Itupun, jika dia memiliki insting jurnalis. Namun apa yang dilakukannya jauh dari harapan itu. Indy justru mematahkan dugaan kuat tersebut tanpa ada penjelasan lebih jauh. “Ah…itu dugaan saja, pak”. Ya ucapan itu mengalir tanpa terbersit niat untuk menggali informasi mendalam.

Jurnalisme Tumpul?

Tapi bayangkan, ketika para alumni Afghan beserta Sri Yunanto dari BNPT (kita tentu faham maksudnya apa) gantian menjadi narasumber, Indy terlihat leluasa mencari tahu. “Kok bisa sih gak ikut-ikut jadi teroris di Indonesia,” “Apa saja yang dipelajari di Afghan?” “Ada berapa mantan Afghan di Indonesia?”, serta sederatan pertanyaan lainnya tidak putus-putus.

Menariknya masih dalam acara Apa Kabar Indonesia pagi tadi, petikan dialog antara Grace Natalie, Direktur BNPT Petrus Golose, dan Musthofa B. Nahrawardaya dari ICAF, kembali diputar. Tentu umat berharap analisa Musthofa mengenai inflitrasi intelijen dalam kasus Solo bisa kembali ditayangkan. Namun, harapan tinggal harapan. Kembali, TVOne tidak berihak kepada keberimbangan berita. Dua kali potongan acara tersebut ditayangkan, dua kali pula ucapan Petrus yang diulas. Tapi tidak untuk statemen Musthofa. Padahal ucapan Petrus hanya dugaan keterkaitan JAT pada ledakan Solo, yang notabene sudah dibantah Sonhadi dari JAT Media Centre di media. Pertanyaannya adalah mengapa fihak TvOne tidak menyertakan ucapan Musthofa dalam satu tayangan lainnya? Ini ganjil. Sangat ganjil. Apalagi dilakukan sebuah jurnalisme yang katanya sebagai media besar di Indonesia.

Lalu pertanyaannya kemudian, apakah kejadian ini murni disengaja atau tidak? Saya sendiri sampai sekarang tidak mempercayai diktum bahwa sebuah jurnalisme adalah media obyektif dalam mengabarkan pemberitaan, karena sejatinya tiap media memiliki kepentingan masing-masing. Tinggal kita bertanya pada diri masing-masing apakah kita berada dalam kepentingan Dajjal atau barisan umat muslim? allahua'lam.

“Siapapun yang mempercayai peristiwa-peristiwa menurut media massa kafir, mustahil bisa mengetahui masalah yang sebenarnya." (Syekh Ahmad Thompson). (pz)

No comments:

Post a Comment